Aku Rianti Martadinata, seorang penari jalanan yang
mencoba bertahan dalam kerasnya kehidupan. Aku seorang janda dengan satu anak.
Aku bukan seorang jalanan, aku hanya seorang seniman yang berjuang bersama
kawan-kawan.
Hidupku Tak pernah lepas dari yang namanya halang dan
rintangan. Setiap detik, setiap menit, bahkan setiap saatnya terasa berat
bagiku. Tetapi melihat senyum anakku Adi, dan melihat semangatnya Rani, Roni,
Doni, Toni teman seperjuanganku membuatku lebih kuat, membuatku lebih tegar.
Setiap hari mereka bersamaku, berjuang bersama di pinggir jalan, merasakan
terik matahari yang membakar kulit, lapar dan haus kami rasakan bersama. Saling
bergandengan, saling merangkul jika salah satu dari kami ada yang mulai putus
asa.
Suatu hari, saat aku sedang berias di kamarku, aku
merasakan sesak yang amat sangat di dadaku, serasa ada yang menggaruk
tenggorokanku. Akupun terbatuk, kurasakan rasa anyir dalam mulutku, aku ingin
memuntahkannya. Aku sudah tak tahan, ku tutup mulutku dengan tanganku. Dan
betapa kagetnya saat ku lihat ada segumpal darah segar keluar dari mulutku. Ya
Tuhan, apa yang terjadi padaku?. Saat aku sedang menerka-nerka dalam hati,
tiba-tiba kudengar suara anakku Adi memanggil namaku. Segera kuhapus darah yang
ada ditangan dan mulutku. Hatiku berkecamuk saat itu, aku takut ada sesuatu
yang terjadi padaku, dan aku takut jika apa yang terjadi pada diriku ini akan
berdampak pada anak semata wayangku ini. Aku tak ingin membuatnya sedih, aku
tak tega bila harus menambah beban anakku ini yang baru berusia 13 tahun.
Sejenak aku melayang dalam duniaku sendiri.
“ibu! Ibu kenapa?” tanya Adi padaku
“ibu tidak apa-apa Adi, memangnya kenapa?
Apa riasan ibu terlihat kacau?” jawabku mengelak
“ah. Mana mungkin riasan ibu kacau. Riasan
ibu adalah riasan terbaik didunia” kata Adi sambil memelukku.
“ dasar kamu ini pintar merayu ibu. Sini
ibu kasih lipstick biar tambah
cantik”. Kataku seraya mencoba memberikan lipstick
pada Adi. Adi-pun tertawa sambil ngomel padaku.
“ibu ini akukan lelaki, mana ada lelaki
cantik. Dasar ibu ini nakal! Sini biar Adi gelitiki ibu” seru Adi sambil
menggelitiku.
Sejenak fikiranku mengenai penyakitku sirna. Dalam hati
aku bertekad untuk terus berjuang hidup, setidaknya untuk anakku, Adi. Aku tak
ingin kehilangan kebahagiaan ini Tuhan, pintaku.
Hari ini terasa beratbagiku. Sejak pagi pusing dikepalaku
tak kunjung hilang, apalagi setelah batuk berdarahbarusan. Rasanya aku ingin
istirahat saja dirumah. Tetapi, bila aku tidak pergi menari bersama kawan-kawan,
nanti aku malah merepotkan mereka. Akhirnya, kupaksakan pergi bersama Adi dan
kawan-kawan yang lain. Aku fikir sakit kepalaku ini akan hilang dengan
sendirinya nanti. Ya, semoga akan hilang nanti.
Terik matahari serasa ingin membakar kulitku yang berbalut
kebaya merah. Panasnya aspal seakan ingin menguliti kaki telanjangku, ditambah
dengan sakitnya kepalaku sedari tadi. Oh Tuhan, kuatkanlah aku, berikanku sehat
ya Tuhan. pintaku dalam hati.
Sudah berjam-jam aku, adi serta kawan-kawanku yaitu Rani,
Rina, Doni, dan Toni mengamen di pinggir jalan. Aku, Rani, dan Rina sebagai
penari, sedangkan Toni, Doni, serta ankku Adi sebagai pemain musiknya. Kami
menarikan tarian Jawa, dengan hanya bermodalkan keahlian yang kami punya
dibidang masing-masing.
Aku mengacuhkan sakit kepalaku, aku terus menggerakkan
tubuhku seraya terus tersenyum demi menghibur pengguna jalan dengan harapan
kami mendapatkan sepeser uang dari mereka. Tetapi mungkin nasib kami kurang
beruntung hari ini, sedari tadi belum sepeserpun kami dapatkan. Terpaksa dahaga
dan lapar kami tahan karena tak punya uang untuk membeli sekedar air mineral.
Hari semakin terik, teman-temanku sudah mulai letih dan
lemas. Aku kasihan pada teman dan anakku, sejak pagi mereka belum menyuap nasi
sedikitpun. Dengan tenaga yang kupaksakan aku terus menari, walau teman-teman
serta anakku telah menyuruhku untuk beristirahat, namun aku tak ingin istirahat
aku tak ingin menyerah, aku harus terus berjuang, demi mereka.
Aku terus menari ditemani Adi yang sudah kularang untuk
menemaniku. Katanya ia ingin membantuku, ia tidak ingin melihatku berjuang
sendiri. Akhirnya, teman-temanku pun ikut berjuang kembali. Mereka terlihat
bersemangat saat itu. Senyum mereka membuatku semakin bersemangat, hingga Tuhan
menurunkan malaikatnya untuk membantu. Lelaki baik hati datang menghampiri
kami, ia menawarkanku untuk menjadi penari dalam menyambut tamu pentingnya.
Sejenak aku ragu, aku takut ditipu. Tetapi, setelah lelaki itu yang baru
kuketahui bernama pak Badrian berhasil meyakinkanku. Akhirnya aku setuju, dan
dari sinilah hidupku sedikit demi sedikit mulai berubah.
Semenjak aku menari menyambut tamu pak Badrian, banyak
tawaran menari membanjiriku. Ternyata tamu-tamu pak Badrian menyukai tarianku,
sehingga mereka sering memanggilku untu menari bila ada tamu yang perlu
disambut. Bayaran yang kuterima dari merekapun tak bisa kubilang sedikit,
bagaimana tidak? Bayarang pertamaku saja mampu untuk membiayai sekolah Adi
selam 1 tahun, serta mampu membiayai kebutuhanku serta teman-temanku selama 1
tahun. Betapa bahagianya aku saat ini. Sekarang aku dan dan kawan-kawanku tidak
perlu berpanas-panasan lagi. Kini aku telah mampu membangun sebuah sangar tari
untuk Rani, Rina, Doni, dan Toni, sekarang mereka telah melatih banyak anak
untuk berseni dalam bidang tari maupun musik Jawa. Kini kehidupan kami serba
kecukupan. Aku telah mengobatkan penyakitku dan dapat penyakitku. Kini tidak
ada lagi penderitaan yang kami rasakan, hanya tinggal kebahagian dengan syukur
yang terus berkumandang dalam hatiku.
Tak terasa sudah 15 tahun aku tidak menari dijalanan
lagi. Kini Adi telah tumbuh dewasa dan sudah sangat mapan. Sanggar tarikupun
sudah membuka cabang dimana-mana. Ingin rasanya aku mengenang kisahku dulu.
Kisah perjuanganku hingga sekarang. Kisah sang penari jalanan