KISAH SANG PENARI JALANAN

Jumat, 03 Mei 2013


            Aku Rianti Martadinata, seorang penari jalanan yang mencoba bertahan dalam kerasnya kehidupan. Aku seorang janda dengan satu anak. Aku bukan seorang jalanan, aku hanya seorang seniman yang berjuang bersama kawan-kawan.
            Hidupku Tak pernah lepas dari yang namanya halang dan rintangan. Setiap detik, setiap menit, bahkan setiap saatnya terasa berat bagiku. Tetapi melihat senyum anakku Adi, dan melihat semangatnya Rani, Roni, Doni, Toni teman seperjuanganku membuatku lebih kuat, membuatku lebih tegar. Setiap hari mereka bersamaku, berjuang bersama di pinggir jalan, merasakan terik matahari yang membakar kulit, lapar dan haus kami rasakan bersama. Saling bergandengan, saling merangkul jika salah satu dari kami ada yang mulai putus asa.
            Suatu hari, saat aku sedang berias di kamarku, aku merasakan sesak yang amat sangat di dadaku, serasa ada yang menggaruk tenggorokanku. Akupun terbatuk, kurasakan rasa anyir dalam mulutku, aku ingin memuntahkannya. Aku sudah tak tahan, ku tutup mulutku dengan tanganku. Dan betapa kagetnya saat ku lihat ada segumpal darah segar keluar dari mulutku. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?. Saat aku sedang menerka-nerka dalam hati, tiba-tiba kudengar suara anakku Adi memanggil namaku. Segera kuhapus darah yang ada ditangan dan mulutku. Hatiku berkecamuk saat itu, aku takut ada sesuatu yang terjadi padaku, dan aku takut jika apa yang terjadi pada diriku ini akan berdampak pada anak semata wayangku ini. Aku tak ingin membuatnya sedih, aku tak tega bila harus menambah beban anakku ini yang baru berusia 13 tahun. Sejenak aku melayang dalam duniaku sendiri.
     “ibu! Ibu kenapa?” tanya Adi padaku
     “ibu tidak apa-apa Adi, memangnya kenapa? Apa riasan ibu terlihat kacau?” jawabku mengelak
     “ah. Mana mungkin riasan ibu kacau. Riasan ibu adalah riasan terbaik didunia” kata Adi sambil memelukku.
     “ dasar kamu ini pintar merayu ibu. Sini ibu kasih lipstick biar tambah cantik”. Kataku seraya mencoba memberikan lipstick pada Adi. Adi-pun tertawa sambil ngomel padaku.
     “ibu ini akukan lelaki, mana ada lelaki cantik. Dasar ibu ini nakal! Sini biar Adi gelitiki ibu” seru Adi sambil menggelitiku.
            Sejenak fikiranku mengenai penyakitku sirna. Dalam hati aku bertekad untuk terus berjuang hidup, setidaknya untuk anakku, Adi. Aku tak ingin kehilangan kebahagiaan ini Tuhan, pintaku.
            Hari ini terasa beratbagiku. Sejak pagi pusing dikepalaku tak kunjung hilang, apalagi setelah batuk berdarahbarusan. Rasanya aku ingin istirahat saja dirumah. Tetapi, bila aku tidak pergi menari bersama kawan-kawan, nanti aku malah merepotkan mereka. Akhirnya, kupaksakan pergi bersama Adi dan kawan-kawan yang lain. Aku fikir sakit kepalaku ini akan hilang dengan sendirinya nanti. Ya, semoga akan hilang nanti.
            Terik matahari serasa ingin membakar kulitku yang berbalut kebaya merah. Panasnya aspal seakan ingin menguliti kaki telanjangku, ditambah dengan sakitnya kepalaku sedari tadi. Oh Tuhan, kuatkanlah aku, berikanku sehat ya Tuhan. pintaku dalam hati.
            Sudah berjam-jam aku, adi serta kawan-kawanku yaitu Rani, Rina, Doni, dan Toni mengamen di pinggir jalan. Aku, Rani, dan Rina sebagai penari, sedangkan Toni, Doni, serta ankku Adi sebagai pemain musiknya. Kami menarikan tarian Jawa, dengan hanya bermodalkan keahlian yang kami punya dibidang masing-masing.
            Aku mengacuhkan sakit kepalaku, aku terus menggerakkan tubuhku seraya terus tersenyum demi menghibur pengguna jalan dengan harapan kami mendapatkan sepeser uang dari mereka. Tetapi mungkin nasib kami kurang beruntung hari ini, sedari tadi belum sepeserpun kami dapatkan. Terpaksa dahaga dan lapar kami tahan karena tak punya uang untuk membeli sekedar air mineral.
            Hari semakin terik, teman-temanku sudah mulai letih dan lemas. Aku kasihan pada teman dan anakku, sejak pagi mereka belum menyuap nasi sedikitpun. Dengan tenaga yang kupaksakan aku terus menari, walau teman-teman serta anakku telah menyuruhku untuk beristirahat, namun aku tak ingin istirahat aku tak ingin menyerah, aku harus terus berjuang, demi mereka.
            Aku terus menari ditemani Adi yang sudah kularang untuk menemaniku. Katanya ia ingin membantuku, ia tidak ingin melihatku berjuang sendiri. Akhirnya, teman-temanku pun ikut berjuang kembali. Mereka terlihat bersemangat saat itu. Senyum mereka membuatku semakin bersemangat, hingga Tuhan menurunkan malaikatnya untuk membantu. Lelaki baik hati datang menghampiri kami, ia menawarkanku untuk menjadi penari dalam menyambut tamu pentingnya. Sejenak aku ragu, aku takut ditipu. Tetapi, setelah lelaki itu yang baru kuketahui bernama pak Badrian berhasil meyakinkanku. Akhirnya aku setuju, dan dari sinilah hidupku sedikit demi sedikit mulai berubah.
            Semenjak aku menari menyambut tamu pak Badrian, banyak tawaran menari membanjiriku. Ternyata tamu-tamu pak Badrian menyukai tarianku, sehingga mereka sering memanggilku untu menari bila ada tamu yang perlu disambut. Bayaran yang kuterima dari merekapun tak bisa kubilang sedikit, bagaimana tidak? Bayarang pertamaku saja mampu untuk membiayai sekolah Adi selam 1 tahun, serta mampu membiayai kebutuhanku serta teman-temanku selama 1 tahun. Betapa bahagianya aku saat ini. Sekarang aku dan dan kawan-kawanku tidak perlu berpanas-panasan lagi. Kini aku telah mampu membangun sebuah sangar tari untuk Rani, Rina, Doni, dan Toni, sekarang mereka telah melatih banyak anak untuk berseni dalam bidang tari maupun musik Jawa. Kini kehidupan kami serba kecukupan. Aku telah mengobatkan penyakitku dan dapat penyakitku. Kini tidak ada lagi penderitaan yang kami rasakan, hanya tinggal kebahagian dengan syukur yang terus berkumandang dalam hatiku.
            Tak terasa sudah 15 tahun aku tidak menari dijalanan lagi. Kini Adi telah tumbuh dewasa dan sudah sangat mapan. Sanggar tarikupun sudah membuka cabang dimana-mana. Ingin rasanya aku mengenang kisahku dulu. Kisah perjuanganku hingga sekarang. Kisah sang penari jalanan
-tamat-

0 komentar: