cerpen-HUJAN

Senin, 06 Mei 2013



            Dulu saat pertama aku bertemu dengannya, dunia terasa begitu indah, semua terasa begitu sempurna. Senyumnya, candanya, tawanya, sorot matanya, semua yang ada pada dirinya membuatku seakan terhipnotis. Pesonanya membuatku seakan tak ingin berpaling darinya. Aku sering curi-curi pandang padanya, walaupun aku tak dianggap olehnya, aku terima, karena aku suka padanya. Cinta tak harus memiliki, bukankah begitu?
            Pertemuan pertama kami dimulai saat aku pertama kali masuk sekolah menegah pertama. Aku bingung karena aku tidak memiliki teman yang dari daerah yang sama denganku. Ya, aku gadis dari desa yang ingin meraih cita-cita dikota tempatku tinggal.  Saat pertama kali aku memasuki kelas aku duduk dengan seorang gadis tomboy yang kurasa memiliki tabiat yang sangat cuek, ia bernama Rania Agata. Sempat aku bertanya dalam hati, apakah aku bisa akrab denganya? Pasalnya, aku ini termasuk orang yang pemalu. Aku terlalu malu untuk memulai sebuah perbincangan.
            Saat semua anak sudah masuk kedalam kelas aku mulai mengedarkan pandanganku, aku ingin melihat bagaimana wajah teman-teman yang akan menjalani  satu tahun kedepan bersamaku. Setelah mengerdarkan pandanganku, aku merasa semuanya normal. Hingga sosok itu, sosok seorang laki-laki yang menurutku sangat tampan sedang bersenda gurau dengan teman disebelahnya. Aku memperhatikannya, entah kenapa mataku tidak dapat berpaling darinya. Saat aku sedang memperhatikannya tiba-tiba dia menoleh padaku, mata kami bertemu, dan alangkah senangnya ketika dia memberikan seulas senyum padaku. Ah dunia terasa indah saat itu. Dalam hati aku bertekad untuk bisa dekat dengannya, paling tidak bisa akrab dengannya.
            Setelah kurang lebih dua bulan aku sekolah di SMP-ku itu, aku mulai dekat dengannya. Dia bernama Hujan Rendi Abrgizael, selama aku mengenalnya aku menangkap kesimpulan bahwa dia orang yang ramah, tegas, bijaksana, dan sangat humoris, semua sifatnya itu semakin membuatku kagum padanya.
            Setiap hari aku selalu berkomunikasi dengannya, terkadang hanya untuk sekedar menanyakan kabar. Dia perhatian padaku, sering mengingatkanku untuk mengerjakan tugas, dan dia selalu membuat atmosfir nyaman saat aku berkomunikasi dengannya. Semakin hari akau dan Hujan semakin dekat, bahkan kami digosipkan berpacaran, aku sempat tersipu bila diejek teman-teman seperti itu, aku selalu bereaksi (sedikit) berlebihan bila teman-temanku mulai mengejekku dengan Hujan. Berbeda denganku, reaksi Hujan saat aku digosipkan dengannya sangat tenang, bahkan terkesan acuh. Suatu hari Hujan mengirim pesan padaku
“Lentera, jangan hiraukan omongan teman-teman ya. Mereka tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya sekedar berbicara dari apa yang mereka lihat. Mereka tidak tau bahwa kita bersahabat.”
Aku sempat kecewa membaca sms dari Hujan tadi. Ada rasa sedih saat mengetahui bahwa ia menganggapku hanya sekedar sahabat. Tapi  aku segera menata hatiku dan menganggap bahwa mungkin ia hanya menjaga pertemanan kami. Akupun membalas
“iya, aku tidak mungkin menghiraukan omongan tidak penting seperti itu. Merekakan tidak tau yang sebenarnya. Kita sahabat ya hujan J”, balasku dengan hati bergetar.
            Kini hari berganti hari, bulan berganti bulan. Dan tak terasa sudah hampir 1 tahun aku menyukai Hujan secara diam-diam. Bahkan aku berhasil mengelabuhi teman-temanku dengan mengatakan bahwa aku tidak akan pernah menyukai Hujan. Semua itu kulakukan karna aku takut jika suatu saat teman-temanku mengetahui yang sebenarnya, mereka akan memberitahukan pada Hujan. Aku tidak mau kedekatanku dengannya rusak hanya karena Hujan tau bahwa aku menyukainya selama ini. Bahkan aku sudah mencoba untuk melupakannya dan menganggap bahwa ia hanyalah temanku saja, tapi itu sulit, rasa sukaku padanya sudah terlalu besar. Seberapapun aku memaksakan diri untuk melupakannya, semakin kuat pula perasaan ini mengingatnya.
            Suatu saat aku memutuskan untuk menjauh darinya aku tidak ingin berlarut dalm perasaan yang tentu arahnya seperti ini. Dan aku berhasil, kami menjadi jauh, hanya beberapa kali kami berbicara, itupun saat aku kebetulan satu kelompok dengannya.
            Saat aku sudah dapat sedikit melupakannya, dia hadir kembali. Dia kembali mendekatiku, memberikan perhatian-perhatian yang menurutku sangat membuatku tersanjung. Aku kembali di ombang-ambingkan dengan perasaanku. Aku semakin bimbang. Aku berdoa kepada Tuhan, jika memang dia bukan untukku aku rela jika Tuhan menjauhkannya, karena semakin ia dekat denganku semakin sakit pula hati ini dibuatnya. Dan kesakitan itu semakin bertambah saat aku mendengar dari si biang gosip Lenata bahwa Hujan baru saja jadian dengan sahabatku Renata, aku sangat terkejut, kecewa, sedih, marah, semua emosi seakan berkecamuk dalam hatiku. Aku ingin marah pada sahabtku Renata, tapi aku tak bisa menyalahkannya karena ia pun tidak mengetahui perasaanku pada Hujan. Aku juga ingin marah pada Hujan, aku ingin menanyakan apa maksut dari semua perhatiannya, aku ingin menanyakan apa maksut dari semua ini. Aku sangat sedih, semua terasa salah saat itu. Semua terasa memuakan, semua terasa menyakitkan. Untuk beberapa hari aku mencoba menghindari Renata dan Hujan. Tapi gagal, Hujan setiap hari selalu mengirimiku sms, dia selalu bercerita tentang Renata, dia bahkan bercerita bagaimana bahagianya dia saat cintanya diterima oleh Renata. Dan tanpa Hujan ketahui, hatiku sakit karnanya, karena semua cerita-seritanya, semua tawanya, dan aku kecewa bahwa cintanya, bahagianya, senyumnya, dan tawanya bukan karena aku, tetapi karena sahabatku Renata.
            Semenjak berita jadinya Renata dan Hujan aku semakin merasa bahwa memang aku dan Hujan bukan tercipta untuk bersama. Dan aku mulai mengikhlaskan Hujan untuk Renata, mungkin Hujan lebih baik dengan Renata, ketimbang denganku, dengan gadis biasa yang tak mempunyai kelebihan menarik apa-apa, dan hanya seorang gadis pemalu yang dengan teguhnya menyimpan semua perasaanya pada lelaki yang dekat namun jauh darinya, dan dengan bodohnya mengira bahwa perhatian yang diberi laki-laki itu adalah sebuah sinyal istimewa yang hanya diperuntukan untuknya. Sungguh tragis. Lelaki yang selama ini kukagumi, ku cintai, dan kudambakan dalam hati kini telah menjadi kekasih sahabat terbaikku. Mungkin sekarang dunia sedang menertawaiku karena kebodohanku, tapi aku berusaha untuk tetap tegar dan berusaha terlihat bahwa aku ikut bahagia atas mereka. Dan aku memegang prinsip bahwa tuhan tidak pernah memberikan apa yang kita inginkan, tetapi tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Tuhan kali ini tidak memberikan Hujan untukku, karena mungkin aku tidak membutuhkan Hujan, mungkin tuhan telah menyiapkan seseorang lain yang aku Butuhkan. Ya, aku percaya semua itu.
            Sekarang aku ingin mengucapkan terimakasih kepada Hujan atas luka yang diberinya. Semoga luka ini membuatku lebih dewasa, dan lebih membantuku untuk melepas dan merelakan Hujan dengan Renata. Aku rela bila hatiku hancur, hatiku terluka, aku rela. Sungguh aku rela, asalkan aku tetap dapat melihat senyum Hujan terus, dan aku tidak melihat kesedihan dalam wajahnya lagi. Semoga mereka bahagia. Dan semoga suatu saat jika Hujan tau perasaanku yang sebenarnya, dia tidak berubah benci padaku. Biarkan luka ini cukup aku saja yang tau, biar aku saja yang merasakannya. Aku rela. Semoga kamu bahagia selalu ya Hujan, semoga tidak melupakanku bila suatu saat nanti kita berpisah, dan semoga kamu menjadikanku kenangan yang mungkin cukup penting untuk kamu ingat, walau aku tak berharap banyak. Aku akan selalu menunggumu dalam diam, aku akan selalu mengagumimu dalam bayangmu. Kamu yang selalu ada dalam jiwaku, semoga kamu bahagia selalu.

Tuhan jika memang aku tak Engkau perbolehkan bersamanya
Aku rela Tuhan
Sungguh aku rela
Melihat senyumnyapun sudah membuatku bahagia
Cinta ini..
Rasa ini..
Luka ini..
Biar aku yang rasakan tuhan..
dia tak perlu tau
karna dia tak kan pernah tau
aku sang pendamba dibalik awan
merindukan bulan yang gemerlap
dalam diam dalam senyap dan dalam kesendirian..

TAMAT

0 komentar: